Wednesday 9 January 2013

keluarga

Keluarga saya adalah pecinta binatang. Sejumlah binatang pun menjadi penghias kehidupan keluarga sederhana kami. Bebek yang ribut di subuh hari karena meminta jatah makan dari ibu. Sebagai imbalan, sang bebek “memberikan” sejumlah telur untuk kami. Sementara ayam-ayam jago berkokok parau mendahului muadzin di masjid kampung, membangunkan seisi rumah saya dan tetangga untuk sholat berjamaah subuh di masjid. Kucing saya tidak mau ketinggalan. Di tengah malam, kalau sedang lapar dan tidak menemukan mangsanya, mengeom terus menerus. Itu semua adalah warna dalam kehidupan keluarga kami. Selain itu, ada banyak tikus yang menghuni atap rumah yang jarang terurus. Akibatnya, karena tidak pernah kebagian jatah makan, menjelmalah mereka dengan sekutu-sekutunya menjadi prampok ikan, nasi, bahkan sayuran sisa di dapur ibu.
Alhamdulillah, semua itu adalah bentuk kesyukuran yang perlu diperbaharui. Binatang, lebih khusus kucing adalah “anggota keluarga” kami yang paling berkesan. Sejak saya kecil hingga dewasa dan meraih gelar sarjana sampai sekarang pun masih ada saja kucing yang kami pelihara. Sampai suatu waktu ibu saya menangis karena seekor kucing yang telah lama hidup bersama kami “meninggal dunia”. Memang peristiwa itu berlalu begitu cepat. Bermula dari kegemaran kucing saya “berantem” dengan kucing tetangga yang hampir setiap hari datang menantang ke rumah. Ya, karena “emosi” kucing saya meladeni hingga akibat “perkelahian” tersebut, kucing saya menderita luka disekujur tubuhnya. Bahkan saya pun turut curiga, mata kanan kucing saya buta akibat terkaman “musuhnya”. Eh, kok malah bercerita tentang kucing? Seperti kisah fabel dalam sastra Indonesia saja. Hehehe.

@normakartika

No comments:

Post a Comment