Keluarga
saya adalah pecinta binatang. Sejumlah binatang pun menjadi penghias
kehidupan keluarga sederhana kami. Bebek yang ribut di subuh hari karena
meminta jatah makan dari ibu. Sebagai imbalan, sang bebek “memberikan”
sejumlah telur untuk kami. Sementara ayam-ayam jago berkokok parau
mendahului muadzin di masjid kampung, membangunkan seisi rumah saya dan
tetangga untuk sholat berjamaah subuh di masjid. Kucing saya tidak mau
ketinggalan. Di tengah malam, kalau sedang lapar dan tidak menemukan
mangsanya, mengeom terus menerus. Itu semua adalah warna dalam kehidupan
keluarga kami. Selain itu, ada banyak tikus yang menghuni atap rumah
yang jarang terurus. Akibatnya, karena tidak pernah kebagian jatah
makan, menjelmalah mereka dengan sekutu-sekutunya menjadi prampok ikan,
nasi, bahkan sayuran sisa di dapur ibu.
Alhamdulillah,
semua itu adalah bentuk kesyukuran yang perlu diperbaharui. Binatang,
lebih khusus kucing adalah “anggota keluarga” kami yang paling berkesan.
Sejak saya kecil hingga dewasa dan meraih gelar sarjana sampai sekarang
pun masih ada saja kucing yang kami pelihara. Sampai suatu waktu ibu
saya menangis karena seekor kucing yang telah lama hidup bersama kami
“meninggal dunia”. Memang peristiwa itu berlalu begitu cepat. Bermula
dari kegemaran kucing saya “berantem” dengan kucing tetangga yang hampir
setiap hari datang menantang ke rumah. Ya, karena “emosi” kucing saya
meladeni hingga akibat “perkelahian” tersebut, kucing saya menderita
luka disekujur tubuhnya. Bahkan saya pun turut curiga, mata kanan kucing
saya buta akibat terkaman “musuhnya”. Eh, kok malah bercerita tentang
kucing? Seperti kisah fabel dalam sastra Indonesia saja. Hehehe.
No comments:
Post a Comment