Salah
satu ciri yang paling menarik dari tarian khas Aceh adalah dilakukan
berkelompok secara solid dan variatif. Hampir tak ada tarian Aceh yang
dilakukan sendiri. Tari seudati merupakan satu dari sekian banyak bukti
kemegahan seni budaya Aceh yang dilakukan secara bersama penuh makna dan
atraktif.
Pertunjukan tari seudati sama memukaunya
dengan kubah-kubah tarian Aceh lainnya selain tari saman yang akan
diakui dunia. Bila ke Aceh, sempatkan datang pada waktu dan tempat yang
tepat untuk sebuah "penyaksian" yang menggetarkan sekaligus membanggakan Nusantara ini.
Hentakan kaki, pukulan telapak tangan di dada dan pinggul, serta petikan jari telah menjadi bagian utama dari sebagian aksi tari seudati yang memukau.
Tari seudati begitu sederhana tapi
sangat indah. Tanpa musik, tanpa gamelan. Hanya ada syair dan pantun.
Musiknya bersumber pada gerakan tubuh dan syair dari penarinya sendiri.
Kelenturan sekaligus keperkasaan memancar dari penarinya beriring dengan
nyanyian yang berderap, badan penari meliuk cepat, semakin cepat, lalu
berhenti tiba-tiba dalam suasana sunyi. Dipastikan penonton akan terbawa
emosi hingga memnberikan letupan sorak dan teriakan untuk seni tari
yang indah ini.
Nama ’seudati’ berasal dari akar kata syahadat atau syahadatain
yang bermakna pengakuan, dua perkara penyaksian. Di dalam agama Islam,
syahadat merupakan ikrar seseorang yang mengakui atau memberikan saksi
berketuhanan dan kepemimpinan. Para penyiar agama Islam di bumi Serambi
Mekah menggunakan tarian bernuansa agama sebagai metode penyebaran pesan
ilahi. Ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak.
Seudati telah dikembangkan sejak agama
Islam masuk ke Aceh.Diberitakan muncul pada awal perkembangannya dari
Desa Gigieng, Simpang Tiga, Pidie di bawah bimbingan Syeh Tam dan juga
di Desa Didoh yang dibimbing oleh Syeh Ali Didoh. Tak heran tarian ini
lebih populer di daerah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur.
Awalnya, tarian seudati menggunakan
bahasa Arab dan Aceh dimana memang digunakan untuk media dakwah. Tarian
ini berikutnya dikenal sebagai varian bentuk tarian pesisir yang disebut
ratoh atau ratoih yang artinya mengabarkan atau memperagakan. Tarian ini biasanya dijadikan pembuka sebelum permainan sabung ayam dulunya. Ratoh
berfungsi sama seperti randai di Sumatera Barat, yaitu untuk
mengabarkan sebuah perihal permasalahan di masyarakat dan bagaimana
menyelesaikannya.
Aceh dalam Lantunan Rap Tradisional
Tarian seudati begitu populer di seluruh
tanah Aceh karena keunikan yang tak berbekal tambur, kecapi, atau pun
seruling. Kesenian ini hanya menggunakan vokal pelantun syair saja yang
dipadupadankan dengan gerakan lincah, harmonis, dan terkadang kaku
sebagai perlambang kebesaran dan keperkasaan seorang pejuang.
Tarian seudati dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.
Tak banyak tarian di negeri ini yang
mampu membuat keheningan menjadi lautan atmosfir kekaguman hanya karena
bertumpu pada keharmonisan gerak anggota badan dan suara yang
dihasilkan oleh tepukan. Bagai lantunan lagu rap yang biasa dipopulerkan
masyarakat Afro-Amerika, seorang aneuk syahi telah jauh mengawalinya puluhan tahun sebelumnya di Tanah Rencong.
Penarinya berformasi 8 hingga 10 orang
dengan mengenakan celana panjang dengan baju ketat berwarna putih.
Kepala penari dihiasi ikat yang disebut tangkulok dan sarung sebatas paha tempat diselipkan rencong yaitu senjata tradisional Aceh.
Tari seudati selalu dipimpin oleh seseorang yang disebut syeikh sebagai lambang dari keimanan yang dipersaksikan dalam syahadat. Syeikh ini dibantu seorang pembantu syeikh. Setelah itu ada dua orang di sebelah kiri yang disebut apeet wie, satu orang pembantu lagi di bagian belakang yang disebut apeet bak,
dan tiga orang pembantu lainnya yang menyertai semua peran tadi.
Delapan orang ini ditemani penyanyi yang biasanya dua orang atau disebut
aneuk syahi.
Kisah Kakak Beradik yang Menggemakan Aceh dengan Tari Seudati
Adalah Syeh Rih Meureuedu dan kakaknya Syeh Lah Banguna
selalu berlatih di tanah kosong sebagai anak-anak kecil Aceh yang gigih
"bermain" Seudati. Walau ayahnya sering mengejar mereka saat melarang
bermain Seudati, mereka terus membandel dan akhirnya mengantarkan pada
sebuah pertandingan seudati atau disebut tunang. Dengan menggunakan nama sampan ayahnya, Banguna, Syeh Lah kecil menamai kelompoknya sebagai Syeh Lah Banguna dan selalu memenangkan tunang.
Bertahun-tahun hingga dewasa kakak
beradik ini memainkan Seudati hingga suatu saat mereka bergabung dalam
kelompok Seudati yang menjadi duta budaya Indonesia. Bermain di hadapan
masyarakat Amerika Serikat di 10 negara bagiannya. Syeh Lah Banguna dan adiknya Syeh Rih Meureudu bermain bersama maestro Seudati lainnya seperti Syeh Lah Geunta, T. Abu Bakar, Syeh Jafar, Syeh Muktar, Alamsyah, Marzuki, dan Nurdin Daud.
Masyarakat Amerika mereka sihir dalam
ketakjuban hingga layar panggung ditutup. Tepukan tangan sambil berdiri
yang dikenal sebagai standing ovation adalah lambang apresiasi
tertinggi penontonnya telah mereka rasakan. Tiga kali layar dinaikkan
dan ditutup untuk menumpahkan lautan ketakjuban penonton Amerika kepada
Seudati Aceh ini. Hal ini nyaris terulang dalam ketakjuban penonton di
Sevilla, Spanyol, juga Belanda, serta negara-negara Eropa lainnya. Tidak
ketinggalan pula negara di kawasan Asia Tenggara telah mereka taklukkan
penontonnya.
No comments:
Post a Comment